212, Piknik Ideologis Paling Hits

Di tengah lautan manusia pilihan yang datang berbekal iman paling puncak, saya merasa kecil dan tak punya daya. Sambil menggendong Naura (3yo) yang mulai lemas dan menggandeng Kakak Nibras (6yo) yang tampak kelelahan bercampur panik dengan mata berkaca-kaca, saya hanya bisa pasrah. Ditambah, Mas Hikam (9yo) sudah menghilang dari pandangan mata, ditelan gelombang mujahid yang datang bergulung-gulung bak ombak besar yang hendak meluluhlantakkan segala kedzaliman. Laa haulaa walaa quwwata illa billah.

Tak henti saya terus memanjatkan do’a dan harapan agar Allah menguatkan saya dan anak-anak, juga memberi kesabaran kepada semua yang hadir semata karena taat. Meski saya tidak pernah tahu, berapa lama lagi kami harus berdiri berdesakan di tengah hamparan manusia yang jumlahnya bukan lagi ribuan tapi jutaan, juga seberapa jauh lagi kami harus bergerak hingga bisa berhenti di tempat yang lapang dan bernafas dengan lega.

Sesekali saya melihat ke arah langit. Ya Allah, sungguh hamba hanyalah setitik debu yang jika Engkau berkehendak meruntuhkan langit detik ini juga atau sekadar menurunkan air hujan untuk membasahi bumi, hamba tak punya kuasa apa-apa. Jangankan untuk menyelamatkan anak-anak hamba yang menjadi permata hati, menyelamatkan diri ini pun hamba tak sanggup.

Perasaan takut sempat menyelinap ke dalam hati saya saat menyaksikan orang-orang mulai berbalik arah satu demi satu. Ya Allah, apakah saya juga harus berbalik? Nyali ini semakin ciut manakala melihat seorang ibu dengan keringat bercucuran dan raut cemas menggendong seorang anak ditemani sang suami yang berupaya keras mencari jalan keluar melawan arus utama pergerakan para mujahid. Suasana padang mahsyar yang dahsyat seperti nyata di depan mata. Saya berusaha menahan gejolak besar kebimbangan dalam jiwa, hendak maju terus atau berbalik arah. Bismillaahi tawakkaltu ‘alallah, akhirnya saya mantapkan hati untuk terus melangkah, terlebih Mas Hikam sudah jauh di depan tanpa saya tahu dengan siapa dan dijaga oleh siapa. Saya hanya berharap pada pertolongan Allah dan penjagaan-Nya.

Dengan penuh perjuangan, akhirnya kami sampai di pintu monas dan masuk ke dalam area monas. Saat itu saya merasa sangat pusing dan mual, seperti mau pingsan. Ternyata saya lupa sarapan. Saya berusaha fokus meski tidak bisa berbuat banyak. Bayangkan, jangankan bisa duduk, area tempat kami berdiri sangat-sangat terbatas, hanya cukup untuk dua kaki ini berpijak, sama sekali tidak bisa bergerak. Dalam hati saya berkata, jika harus syahid di sini, saya rela ya Allah.

Saya lihat Kakak mulai menangis, tanpa mengeluarkan suara, hanya air mata yang terus mengalir membasahi pipi. Entah apa yang ada dalam hati dan pikirnya. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulut mungilnya. Saat saya menanyakan apakah Kakak sakit atau pusing, Kakak hanya menggelengkan kepala sambil terus mengemut jari telunjuknya. Sabar ya sayang. Hanya itu yang bisa saya katakan. Saya tidak bisa menjanjikan tempat yang lebih baik di depan sana.

Setelah beberapa lama, tibalah saya pada suatu area dekat dengan sebuah taman kecil. Saya melihat dua orang ibu dan beberapa laki-laki duduk di atas tikar yang digelar di samping taman. Ada space kosong di tikar tersebut yang muat untuk kami bertiga duduk. Allahu Akbar, sontak hati saya berdebar-debar dan sumringah. Mungkinkah ini sebagian dari keajaiban 212 yang sering diperbincangkan banyak orang, dimana hal-hal yang mustahil menjadi kenyataan dengan kehendak dan kuasa-Nya? Bayangkan, tak satu pun dari para mujahid yang jumlahnya ribuan bahkan jutaan yang melewati area itu, yang tentu berada dalam kondisi lelah dan penat yang sangat, mengambil space tersebut sebagai tempat duduk. Alhamdulillah, Allahu Akbar, tak henti-henti saya memuji-Nya, bersyukur tiada tara.

Setelah diijinkan duduk, air mata ini mengalir tak terbendung lagi. Di tengah lantunan shalawat syahdu sesekali diselingi pekikan takbir, juga di bawah kibaran bendera tauhid yang gagah perkasa menghiasi langit Jakarta, saya menangis sambil memeluk erat kedua buah hati saya. Perasaan haru biru juga rindu kepada sosok Rasulullah, panglima besar umat, juga kepada sistem politik Islam yang super power, perisai sekaligus penjaga umat yang terpercaya, bercampur aduk menjadi satu. Setengah terisak saya berbisik, semoga Allah meridhai perjuangan kita dan mengumpulkan kita sampai ke surga-Nya ya, Sayang..

Saya pun teringat kondisi kaum muslim di pelarian atau pengungsian, karena kejaran para penguasa durjana atau karena perang. Mereka terpisah dari orang-orang yang dicintai, tak punya makanan, tak punya air, tak ada uang, juga tak memegang alat komunikasi apa pun. Bertahan dengan kondisi antara hidup dan mati. Kondisi yang menguji keimanan dan ketangguhan seorang muslim.

Saya tak pernah menyangka akan mengalaminya. Terpisah dari anak, tak punya makanan, tak ada dompet, juga tak ada alat komunikasi. Saya terpisah di perjalanan dengan seorang sahabat shalihah yang menawarkan bantuan untuk membawakan tas punggung saya sejak turun dari kereta. Sementara itu, seorang sahabat shalihah yang menemani saya sejak pertama kali terpisah dari rombongan safar pun meninggalkan saya untuk mencari posisi teman-teman yang lain. Handphone saya saat itu juga dibawa Mas Hikam. Praktis, saya tak membawa bekal apa pun.

Tapi masyaAllah, saya sama sekali tidak merasakan kekhawatiran sedikit pun. Seperti di taman surga, saya merasa aman dan bahagia bersama para mujahid 212. Saya pun tidak kekurangan makanan juga minuman. Tak henti-henti orang-orang di sekitar saya menawarkan bekalnya kepada saya, tanpa takut kehabisan dan dengan husnudzan tingkat tinggi. Bahkan mereka juga berdiskusi memikirkan bagaimana saya bisa pulang ke Bekasi. Padahal saya tak pernah berjumpa apalagi mengenal mereka sebelumnya. Ya Allah, sekali lagi, bergetar hati ini menyaksikan jalinan ukhuwah Islamiyah yang murni menjalar memanasi setiap inci tubuh umat. Ya Allah, sungguh saya merasakan umat ini sangat merindukan persatuan hakiki di bawah panji-panji bertulis kalimat laa ilaaha illallah muhammad rasulullah.

Demi Allah, ini adalah piknik paling indah dan menggugah bagi saya juga bagi jutaan orang yang hadir di tempat yang sama semata mengharap keridhaan-Nya. Mereka rela meninggalkan momen jalan-jalan bersama keluarga di akhir pekan yang penuh canda tawa untuk menunjukkan keberpihakan dan ketaatan mereka kepada ulama. Mereka rela berkorban harta juga tenaga,  bersabar dalam berpayah-payah, demi menunjukkan kepada dunia bahwa Islam itu mulia juga rahmat yang akan mengeluarkan semua negeri dari nestapa, mengantarkannya kepada bahagia.

Piknik ideologis, begitu saya menyebutnya. Karena yang hadir jalan-jalan ke monas hari itu, tidak sekadar hendak refreshing atau menguatkan bonding antara ortu-anak-keluarga-sahabat, tapi lebih lagi. Mereka melebur menapaki jalan perjuangan Rasulullah dan para sahabat, menyatukan perasaan dan pemikiran dalam satu visi besar persatuan umat, semata karena taat dan mengharap pahala dari Rabb semesta.

Piknik ideologis 212 pun menjadi hits dan berakhir dengan kisah bahagia dalam balutan cinta dan asa. Setiap kisah menjadi kenangan tak terlupakan yang mampu menggelorakan semangat persatuan umat yang kian hari kian tak terbendung bagai bola salju yang terus membesar. Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah wallahu akbar!!

Tapi ingat kawan, jangan kita terbuai dengan kemegahan 212 semata. Perjuangan masih harus terus diemban dengan keseriusan dan kesabaran ekstra menapaki setiap thariqahnya hingga kebangkitan Islam menjadi nyata.

By the way, “Mas dan Kakak mau ikutan aksi bela Islam kayak kemaren lagi??” Serentak pasukan saya menjawab, “Mauuuu!!” Bagaimana dengan Anda dan pasukan Anda? Mari bersiap menyambut pertarungan yang lebih dahsyat lagi! Allahu Akbar!!

Leave a comment